Chronic Myeloid Leukemia (CML)
Chronic Myeloid Leukemia adalah salah
satu bentuk dari leukemia yang ditandai dengan meningkatnya dan
pertumbuhan yang tidak teratur dari sel myeloid di dalam sum-sum tulang
dan terakumulasi juga di dalam darah. Chronic myeloid Leukemia adalah
gangguan pda sum-sum tulang dimana terjadi proliferasi dari granulosit
yang matur (neutrofil, eosinofil, dan basofil). Chronic myeloid leukemia
adalah salah satu tipe penyakit myeloproliferasi yang dihubungkan
dengan adanya translokasi kromosom yang disebut dengan philadelphia
chromosome.
Sejak dahulu, penyakit ini telah di terapi dengan kemoterapi, interferon, dan transplantasi sum-sum tulang, walaupun targeted therapy telah diperkenalkan pada awal abad 21 secara radikal telah merubah menejemen dari Chronic Myeloid Leukemia.
Chronic myeloid leukemia disebut juga
sebagai chronic granulocytic leukemia adalah gangguan myeloproliferasi
yang ditandai oleh peningkatan proliferasi dari granulosit tanpa
menghilangnya kemampuan granulosit untuk berdiferensiasi. Pada
pemeriksaan darah tepi dijumpai peningkatan jumlah granulosit dan adanya
sel-sel imatur termasuk sel blast.
Chronic myeloid leukemia jarang terjadi pada anak-anak, hanya 2-3% dari semua jenis leukemia pada anak-anak.3
Umumnya pada penderita chronic myeloid leukemia, dijumpai splenomegali
pada pemeriksaan fisik, yang mana hal ini berkolerasi dengan jumlah
granulosit pada pemerikasaan darah tepi. Hepatomegali juga dapat
dijumpai sebagai bagian dari hematopoiesis extramedullary yang terjadi
di limfe. Kemudian dijumpai demam, nyeri sendi, anemia dan pendarahan.
Chronic myeloid leukemia merupakan
translokasi dari kromosom 9 dan 22 yang disebut dengan kromosom
Philadelphia. Yang merupakan tanda khas pada CML.5
Chronic myeloid leukemia dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu:
- fase kronik, dimana 85% pasien didiagnosa pada fase ini.
- fase akselerasi, dan
- krisis blast, dimana merupakan tahapan akhir dari perjalanan pennyakit chronic myeloid leukemia, serupa seperti leukemia akut dengan progresifitas yang cepat.
Chronic myeloid leukemia (CML) yang
disebut juga sebagai chronic granulocytic leukemia (CGL), adalah
merupakan keganasan klona dari sel induk (stem cell) sistem hematopoetik
yang ditandai oleh translokasi spesifik, t(9;22) (q34 ;q1) yang dikenal
sebagai kromosom philadelphia. Translokasi ini mendekatkan gen bcr pada kromosom 22 dengan gen abl pada kromosom 9, sehingga menghasilkan gen gabungan yang menyandi protein gabungan bcr-abl. CML pada kebanyakan kasus, tidak ada gambaran predisposisi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
ETIOLOGI
CML lebih sering terjadi pada orang dewasa dan bertanggung jawab hanya untuk 3% dari kasus leukemia pada masa kanak-kanak.1 Penyebab
dari CML pada anak-anak belum diketahui. Tidak ada bukti klinis yang
jelas tentang faktor predisposisi keturunan. Juga tidak dijumpai
peningkatan resiko terhadap CML pada gangguan kromosom preleukemik
seperti pada anemia Fanconi dan Down syndrome. Pada kebanyakan kasus,
tidak terdapat faktor predisposisi.
Pada kasus tertentu, hubungan CML dengan
paparan radiasi telah dijelaskan, terutama pada anak umur 5 tahun,
seperti yang telah dilaporkan di Jepang pada saat adanya ledakan hebat
pada tahun 1940.3
Juga telah dilaporkan CML terjadi pada
anak-anak dengan immunosuppresed, termasuk anak dengan infeksi HIV, dan
imunosupresi pada transplantasi ginjal.1
PATOGENESIS
Chronic myeloid leukemia adalah
malignansi pertama yang dihubungkan dengan gen yang abnormal,
translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai Philadelphia kromosom
yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada CML juga ditandai
oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid yang
berdiferensiasi dalam darah dan sum-sum tulang.1
Pada translokasi ini, bagian dari dua
kromosom yaitu kromosom 9 dan 22 berubah tempat. Hasilnya, bagian dari
gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bergabung dengan
gen ABL pada kromosom. Penyatuan abnormal ini menyebabkan penyatuan
protein tyrosine kinase yang meregulasi proliferasi sel, penurunan sel
adherens dan apoptosis. Hal ini karena pada bcr-abl produk penyatuan gen
adalah juga tyrosine kinase.
Penyatuan protein bcr-abl berinteraksi
dengan 3beta (c) subunit reseptor. Transkrip bcr-abl aktif secara
terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi oleh protein sel yang
lainnya. Bcr-abl mengaktivasi kaskade dari protein yang mengontrol
siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein bcr-abl
menghambat perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan menyebabkan
sel dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang abnormal. Tindakan dari
protein bcr-abl adalah penyebab patofisiologi dari chronic myeloid
leukemia. Dengan pemahaman tentang protein bcr-abl dan tindakannya
sebagai tyrosine kinase, targeted therapy dikembangkan yang secara
spesifik menghambat aktifitas dari protein bcr-abl. Inhibitor dari
tyrosine kinase dapat menyembuhkan CML, karena bcr-abl tersebut adalah
penyebab dari CML.1
KLASIFIKASI
CML sering dibagi menjadi tiga fase
berdasarkan karakteristik klinis dan hasil laboratorium. CML dimulai
dengan fase kronik, dan stelah beberapa tahun berkembang menjadi fase
akselerasi dan kemudian menjadi fase krisis blast. Krisis blast adalah
tingkatan akhir dari CML, dan mirip seperti leukemia akut. Perkembangan
dari fase kronik melalui akselerasi dan krisis blast diperoleh kromosom
abnormal yang baru yaitu kromosom philadelphia. Beberapa pasien datang
pada tahap akselerasi ataupun pada tahapan krisis blast pada saat mereka
didiagnosa.
Fase Kronis
85% pasien dengan CML berada pada tahapan
fase kronik pada saat mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini,
pasien selalu tidak mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala ringan
seperti cepat lelah dan perut terasa penuh. Lamanya fase kronik
bervariasi dan tergantung sebearapa dini penyakit tersebut telah
didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat itu juga. Tanpa adanya
pengobatan yang adekuat, penyakit dapat berkembang menuju ke fase
akselerasi.
Fase Akselerasi
Pada fase akselerasi hitung leukosit
menjadi sulit dikendalikan dan abnormalitas sitogenik tambahan mungkin
timbul. Kriteria diagnosa dimana fase kronik berubah menjadi tahapan
fase akselerasi bervariasi. Kriteria yang banyak digunakan adalah
kriteria yang digunakan di MD Anderson Cancer Center dan kriteria dari
WHO. Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu :
- 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sum-sum tulang.
- >20% basofil di dalam darah atau sum-sum tulang.
- Trombosit <100.000, tidak berhubungan dengan terapi.
- Trombosit >100.000, tidak respon terhadap terapi.
- Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom philadelphia.
- Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat.
Pasien diduga berada pada fase akselerasi
berdasarkan adanya tanda-tanda yang telah disebutkan di atas. Fase
akselerasi sangat signifikan karena perubahan dan perubahan menjadi
krisis blast berjarak berdekatan.
Krisis blast
Krisis blast adalah fase akhir dari CML,
dan gejalanya mirip seperti leukemia akut, dengan progresifitas yang
cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Krisis blast didiagnosa
apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada pasien CML :
- >20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sum-sum tulang.
- Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sum-sum tulang.
- Perkembangan dari chloroma.5
GEJALA DAN TANDA Chronic Myeloid Leukemia (CML)
Umumnya gejala CML pada anak-anak,
biasanya tidak spesifik, seperti fatigue, malaise dan penurunan berat
badan. Abdominal discomfort, yang disebabkan oleh splenomegali, biasanya
juga dijumpai. Gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis sering
ditegakkan bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain. Penderita
mungkin datang dengan splenomegali (yang dapat masif) atau dengan gejala
hipermetabolisme, termasuk kehilangan berat badan, anoreksia, dan
keringat malam. Gejala leukostasis seperti gangguan pengelihatan atau
priapismus, jarang terjadi.
Pasien sering asimptomatik pada saat
pemeriksaan, hanya ditemukan peningkatan leukosit pada pemerikasaan
jumlah leukosit dalam pemeriksaan darah. Pada keadaan ini CML harus
dibedakan dari reaksi leukemoid, yang mana pada pemeriksaan darah tepi
memiliki gambaran yang serupa. Gejala dari CML adalah malaise, demam,
gout atau nyeri sendi, meningkatnya kemungkinan infeksi, anemia,
trombositopenia, mudah lebam, dan didapatnya splenomegali pada
pemerikasaan fisik.
Tabel. 1. Gambaran Klinis Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia
Umum | Jarang |
Fatigue
Berat badan turun Abdominal discomfort Asimtomatik |
Nyeri tulang
Perdarahan Demam Berkeringat Leukositosis Gout Spleen Infark |
Mayoritas anak-anak dijumpai
splenomegaly, penemuan lain biasanya tidak spesifik. Hepatomegaly teraba
(1-2 cm) tetapi hepatomegali hebat dan limfadenopati sangat tidak
umum, kecuali penyakit itu sudah fase lanjut atau blast krisis. Tanda
leukositosis (e.g. retinal hemoragik, papil edema, priapismus). Biasanya
hanya keliatan jika leukosit sangat tinggi (>300×10 9/L). Beberapa
laporan menduga bahwa tanda-tanda CML lebih umum pada anak-anak daripada
dewasa, walaupun dari 40 anak-anak hanya 3 (7,5%) yang mengalami
leukositosis. Nodul di kulit akibat deposit leukemic (chloromas) jarang
dijumpai, biasanya dihubungkan dengan fase lanjut atau blast krisis.
DIAGNOSIS Chronic Myeloid Leukemia (CML)
Kelainan laboratorium biasanya mula-mula terbatas pada kenaikan hitung leukosit, yang dapat melebihi 100.000/mm3,
dengan semua bentuk sel myeloid tampak di apus darah. CML sering
didapat diagnosanya berdasarkan pemeriksaan darah, yang mana menunjukkan
peningkatan granulosit dari berbagai jenis, termasuk sel myeloid yang
matur. Basofil dan eosinofil biasanya meningkat. Peningkatan ini dapat
menjadi indikasi untuk membedakan CML dari reaksi leukemoid. Biopsi
sum-sum tulang sering dilakukan sebagai evaluasi dari CML.2
Pada pemeriksaan sum-sum tulang CML ditandai dengan hipercellular di
dalam semua fase. Pada fase kronis terjadi peningkatan terutama
hiperplasia dari sel granulocytic.3
Diagnosa utama dari CML diperoleh dari
ditemukannya kromosom philadelphia. Kromosom abnormal yang khas ini
dapat didetekesi dari pemerikasaan sitogenetik rutin, dengan hibridisasi
fluoresen in situ atau dengan PCR untuk gen bcr-abl yang menyatu.5
Terdapat kontroversi terhadap Ph-negatif CML,
atau kasus terhadap kecurigaan CML dimana kromosom philadelphia tidak
dapat dideteksi. Banyak pasien yang faktanya memiliki kromosom abnormal
yang kompleks yang menutupi translokasi kromosom 9 dan kromosom 22, atau
mempunyai bukti dari translokasi oleh FISH atau oleh RT-PCR sehubungan
dengan karyotyping rutin yang normal.5
TERAPI Chronic Myeloid Leukemia (CML)
Pada fase kronis CML diterapi dengan
inhibitor tyrosine kinase, yang pertama adalah imatinib mesylate
(Gleevec, Glivec). Sebelumnya digunakan antimetabolit (cytarabine,
hydroxyurea), alkalysis agent, interferon alfa 2b, dan steroid, tetapi
obat-obat ini sekarang telah digantikan oleh imatinib. penggunaan
Imatinib telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat dan dikhususkan untuk
bcr-abl, yang mengaktifkan penyatuan protein tyrosine kinase yang
disebabkan oleh translokasi kromosom philadelphia. Imatinib ini dapat
ditolerir lebih baik dan lebih efektif dibandingkan terapi sebelumnya.
Transplantasi sum-sum tulang juga digunakan sebagai terapi pilihan untuk
CML.
Pada sindrom tumor lysis diberikan
hidrasi, alkalinisasi, dan allopurinol. Pada hiperleukositosis pada CML
yang ditandai dengan jumlah leukosit >200.000/mm3 mulai
diberikan hydroxyurea 50-75 mg/kgBB/hari. Imatinib mulai diberikan
setelah diagnosis dari Ph-positif CML telah ditegakkan. Bila terdapat
respon yang kurang memuaskan terhadap Imatinib maka digunakan IFN-α atau
IFN-α dan Ara-C 5×106 unit/m2 per hari secara subcutan atau intramuskular. Hydroxyurea digunakan untuk menurunkan jumlah leukosit menjadi 10.000-20.000 /mm3 dan dapat diturunkan dosisnya secara bertahap dan tidak dilanjutkan kembali.
Respon terhadap pengobatan dapat
diketahui berdasarkan beberapa kriteria, diantaranya kriteria secara
hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm3, tidak
dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan
adanya respon pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila
leukosit kurang dari 20.000/mm3, dijumpai splenomegali maka
terdapat respon pengobatan parsial (partial respon). Dikatakan
pengobatan gagal apabila leukosit lebih dari 20.000/mm3 dan dijumpai splenomegali.
Pengaturan pada CML fase akselerasi
tergantung dari pengobatan sebelumnya dan masalah spesifik yang
dirasakan si anak. Pada anak yang penyakitnya berkembang menjadi fase
akselerasi pada saat menunggu untuk transplantasi sum-sum tulang harus
dilakukan tranplantasi secepatnya. Imatinib adalah obat yang paling
berguna untuk mengontrol penyakit ini sampai transplantasi tulang
dilakukan, untuk anak-anak yang telah relaps terhadap Imatinib dapat
menggunakan hydroxycarbamide. Manifestasi yang paling umum dari fase
akselerasi adalah splenomegali dan trombositosis. Splenectomy dapat
dilakukan untuk splenomegali yang masif. Trombositosis mungkin sulit
untuk dikendalikan karena trombositosis kadang-kadang resisten terhadap
imatinib dan sering resisten terhadap hydroxycarbamide. Untungnya,
walaupun jumlah platelet meningkat biasanya ditolerir dengan baik dengan
trombosis dan pendarahan pada anak-anak.
Prognosa pada krisis blast jelek,
walaupun dengan regimen kemoterapi baru-baru ini dan berlawanan denan
krisis blast pada limfoid, vincristine dan steroid mempunyai sedikit
keuntungan. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan 50% dari pasien
respon terhadap Imatinib tetapi kurang dari 20% mempunya respon
hematologi yang komplit dan respon sitogenik yang sempurna. Pada
anak-anak pada CML tahap krisis blast terapi pilihan adalah Imatinib dan
kemoterapi tipe AML (Acute myeloid leukemia) seperti daunorubicin,
cytarabine atau thioguanine. Tetapi pengobatan ini tidak bersifat
menyembuhkan penyakit. Pada stadium ini pengobatan yang paling efektif adalah transplantasi sum-sum tulang stelah kemoterapi dosis tinggi.
Sumber : Dr. Cinta
Iklan Disini